Mental Gratisan: Minta Mulu Gak Pernah Memberi

 “Eh, kemaren lo abis ultah ya? Traktiran dooong!” “Mana nih pajak jadiannya? Ga kasih PJ (pajak jadian) nanti ga langgeng, lho!” Coba ngaku siapa yang pernah ngeliat kejadian kaya gitu? Atau kalian sendiri yang ngalami?

Generasi zaman sekarang memang sangat memprihatinkan. Masih muda tapi apa-apa sudah di “pajak”-in. seakan-akan kita butuh banget dikash barang gratis.

Memang sih, siapa sih yang gak suka gratisan? Gak perlu keluar effort, yang diinginkan udah tersedia. Tinggal minta aja, mau pake cara “kode minta dikasih”, atau cara “frontal” dengan agak-agak maksa. Yang penting gratis!

Beda cerita kalau kalian memang pure diberi dan orang yang memberi memang tulus memberi sesuatu ke kita.

Mental Gratisan Kok Dipelihara?

Mental ingin diberi dan bukan memberi memang sudah jadi booming di masyarakat kita. Tua, muda, sama saja.

Padahal logikanya, orang yang memberi, artinya punya sesuatu “lebih” yang bisa dibagikan dan bermanfaat bagi orang lain. Sedangkan orang yang diberi, akan merasakan senangnya diberi.

Kemudian perasaan nagih “mau dong diberi lagi” akan selalu muncul di kemudian hari. Bahasa umumnya adalah berharap atau ngarep. Parahnya, si pelaku ingin diberi dan bukan memberi ini biasanya ga sadar sama pola pikirnya yang salah!

Kenapa pola pikir seperti ini banyak dialami oleh masyarakat kita? Jawabannya ada pada habitat atau kebiasaan. “Kenapa harus bayar kalau ada yang gratis?” ini seakan-akan udah jadi budaya.

Pikiran yang dangkal, suka ngarep, dan mental gratisan ini bakal jadi penghambat kalian buat nyelesein masalah.

Kalian tidak akan bisa memberi solusi karena pengennya ngeluarin effort sedikit mungkin, kalau perlu malah gak usah ngeluarin effort sama sekali.

Otak rasanya gak bisa berpikir kritis dan endingnya malah gampang nyerah. Jika pola pikir ini sering ditanamkan di otak, bisa bahaya. Apalagi jika sudah menjadi kebiasaan, jangan harap bisa menjadi orang yang berhasil deh.

Embel-embel temen biasanya menjadi jurus paling sakti untuk mendapat gratisan. Entah jasa, barang, atau hal lain yang tak berwujud. Yang menjadi isu di sini adalah sengaja pelihara mental gratisan.

Ketemu teman langsung ditodong minta traktiran. Bersua sama teman yang buka kedai kopi buru-buru minta voucher biar bisa minum kopi gratis.

Sadarkah kalian jika memelihara mental seperti ini dengan sendirinya akan menghancurkan apresiasi atas pencapaian orang lain? Kemudian, akan membawa karma bagi diri sendiri di hari esok.

Peraya deh, mentalitas serba minta gratisan itu gak akan membuat hidup lebih barokah. Jelas gak barokah karena selalu nuntut gratisan. Begitu disuruh bayar pasti langsung negative reaksinya.

Buntunya, punya mental gratisan bisa merusak alam bawah sadar. Karena dorongan alam bawah sadar it mempengaruhi tindakan “menghancurkan” rasa penghargaan kepada karya atau usaha orang lain.

Padahal, semua itu dibuat dengan susah payah plus pengorbanan. Coba ditelaah dulu perjuangan panjang yang telah dilewati seorang kawan dalam merintis bisnis.

Pasti semua itu gak terpikirkan karena adanya mental gratisan. Hargailah usahanya. Jika emang lagi bokek, lebih baik tahan diri untuk tak meminta.

Di saat bersamaan, mulailah latih alam bawah sadar dengan pandangan yang baru. Pasang mantra baru berbunyi “Saya hidup berkelimpahan dan saya sanggup bayar!” Pola pikir ini tak sekedar mengusir mental gratisan tapi juga membantu kelangsungan bisnis mereka.

Bagaimana jika diberi? Beda cerita. Ketika ia memberi sesuatu pasti ada motif di belakangnya. Macam-macam motifnya. Entah karena kita dianggap istimewa, atau memang ingin berbagi. Terimalah pemberiannya karena itu membuat mereka senang.

 Jadi, gimana pola pikir kalian?

Tulisan ini dipublikasikan di Pola Pikir. Tandai permalink.